Orang Tersabar di Dunia

Dari dulu, aku merasa mempunyai tiga orangtua. Satu Ibu, satunya Ayah, dan yang terakhir, ada Pakde.

Sejak dari aku lahir, Pakde sudah bersama-sama dengan keluarga kecil kami yang terdiri dari lima orang. Pakde selalu ada, biasanya hanya untuk mengecek apakah kami, tiga keponakannya yang masih kecil ini sudah makan, ataukah ada keperluan yang bisa ia belikan untuk kami pada hari itu.

Dari kecil, aku dimanja. Kalau sedang tengkar dengan Ayah, dan Ibu tidak bisa diajak berkompromi, selalu ada Pakde. Pakde tidak pernah marah. Satu kali pun, tidak pernah. Dulu saat aku sedih, aku suka berlari-lari lalu memeluk kaki Pakde dari belakang, dan tidak mau kulepas lagi. Saat aku nggondok dengan Ayah-Ibu, biasanya Pakde cuma diam sebentar lalu berkata, "Nanti mau dibeliin es krim kalau Pakde keluar?". Semua itu rasanya seperti suplemen kekuatan hari demi hari, suatu rasa nyaman yang menjamin aku untuk tidak pernah merasa sendiri, karena ada Pakde.

Karena Ayah dan Ibu sibuk, aku selalu bersama Pakde, baik berangkat maupun pulang sekolah, baik pergi ke tempat les sampai ke mal untuk mencari keperluan-keperluan. Selalu.

Pertama kali aku melihat Pakde marah adalah saat aku kelas 1 SMP. Saat itu, beberapa menit sebelum pulang sekolah, aku tanpa ijin (karena handphone-ku mati) digonceng oleh temanku untuk pergi ke rumah sahabatku karena ia sedang tertimpa musibah. Aku begitu khawatir dengan sahabatku sampai tidak memikirkan hal-hal lain. Saat kembali ke sekolah, rasanya jantung sempat berhenti berdenyut sedetik melihat mobil Panther Pakde sudah terparkir di halaman. Lalu datanglah Pakde, dan sepanjang perjalanan pulang aku menahan tangis karena sudah membuat Pakde marah setelah sekian tahun lamanya.

Banyak sekali hal yang tidak bisa dijabarkan mengenai Pakde-ku, orang tersabar di dunia, orang yang paling kusayangi kedua setelah orangtuaku. Aku harap, beliau sehat selalu, sehingga aku bisa terus bersama-sama dengan Pakde, selama mungkin. Semoga kedepannya, aku bisa membahagiakan Pakde, seperti Pakde selalu membuatku tertawa disaat aku merasa capek, baik fisik, pikiran, maupun hati. Aku harap, kedepannya aku bisa ganti merawat dan mengerti Pakde, seperti beliau merawat dan mengerti aku semenjak aku masih bayi sampai sudah mau kuliah seperti ini.

J'aime, Pakde 

...............................................

Aku, waktu masih umur 5 tahun, pada sebuah sore di garasi, di gendongan Ibu.

"Ma, Pakde kalau nyetir kok lambat banget sih?"

"Nyetir apa?"

"Ya itu Ma, kalau lagi naik motor sama Pakde, Frea mesti disalip sama mobil-mobil. Kalau lagi naik mobil, motor-motor rebutan ngeeeng ngeeeng ngelewati mobil Pakde. Maunya yang cepet Ma."

"Itu tandanya, Pakde sayang sama kamu. Pakde pelan-pelan itu, supaya lebih hati-hati dan gamau kamu kenapa-napa."



.............speechless kalau ingat-ingat ini. I really love you, Uncle, I did.