I hope you read this, Kimi :)

Dear Kimi,

Lama tidak bertemu bukan berarti aku menjadi sombong! Haha, maafkan aku, aku memang sedang memasuki bulan-bulan penuh kesibukan, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk membalas suratmu. Bagaimana kabarmu, Kim? Kudoakan kau selalu baik-baik saja. Disini, musim sudah berganti dari putih menjadi merah muda. Ya, Kimi, kamu pasti akan terheran-heran melihat pohon, udara, dan jalanan setapak dipenuhi oleh guguran bunga Sakura. Aku berharap dapat membagi keindahannya denganmu.
               
Terus terang aku tidak ingin membahas pertanyaan dan curhatan yang engkau beberkan di suratmu yang terakhir. Nonsense. Pertanyaan yang kau lontarkan padaku itu sudah jelas. Aku tidak akan pernah lupa dengannya, Kim, kecuali belasan truk semen menabrak kepalaku dan mengakibatkan aku amnesia total. Ah, meskipun begitu, aku yakin takdir akan mempertemukan kami kembali, bagaimanapun caranya, dan aku akan jatuh cinta lagi dengannya. Berulang-ulang.
                
Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Kau kira aku jatuh untuknya karena faktor face saja? Tidak. Jiwa seseorang itu yang paling penting, dan hal itu sukar untuk diubah. Dia sama seperti dulu, sahabatku, dan itulah yang kuyakini.
                
Adalah suatu sore yang mendung di SMA kita tercinta, waktu pertama kali aku mengenalnya. Lebih tepatnya, memerhatikannya. Saat itu, di sudut lapangan yang teduh, aku sedang bersenda gurau ketika sebuah bola sepak mendarat di kakiku.
                
Aku mengopernya ke sembarang arah ketika aku melihatnya. Melihat dia. Untuk pertama kali, benar-benar melihatnya. Dan dia juga sedang melihat kearahku. Namun ketika bola sudah berpindah, ia berpaling kembali.
                
Kimi sahabatku, percayakah kau dengan rasukan rasa? Ketika suatu saat, dengan tiba-tiba, tubuhmu dialiri dengan aliran yang berdesir, mulai dari kulit di bawah lenganmu hingga dibawah telapak kakimu? Rasanya aneh, dan mengganggu, namun menyenangkan. Lalu matamu mulai terpengaruh. Jantungmu. Debarnya mulai tidak beraturan. Perutmu. Kupu-kupu yang lahir entah darimana berterbangan di dalamnya.
                
Kimi, rasa itu telah merasukiku dari pertama aku memerhatikannya. Dan belum menghilang. Kuharap tidak akan pernah menghilang.
               
Lalu aku meminta bantuan kepada Velda—tentu kau ingat si tomboy dari kelasmu itu, kan?—dan dia berkata bahwa aku harus siap ditolak. Blak-blakan sekali, dan well, kenyataannya memang begitu, aku tidak pantas untuknya. Velda bilang, “Untuk jadi teman, bisa saja, gampang, anaknya baik sekali, kok. Namun untuk lebih lanjut.... Susah. Dia itu ‘dingin’, kalau kamu mengerti maksudku’.”
                
Namun aku tidak keberatan. Aku berujar dengan mantap, bahwa aku akan menunggunya. Terus, dan terus. Dan begitulah, kau tahu aku tidak akan menjilat ludahku sendiri. Dengan bantuan dan kekuatan dari Tuhan, aku menunggunya selama yang aku mampu.
                
Aku memerhatikannya mengalami berbagai hal. Melihatnya melakukan rutinitas wajibnya setiap hari—ke kantin, sholat, rapat, bermain, belajar. Aku masih ingat dengan jelas, minggu itu sekolah kita mengadakan Sport Cup, dan dia ikut menjadi salah satu pemain cadangan untuk tim sekolah. Di bawah guyuran hujan, ia tetap bersemangat sekali, mulutnya komat-kamit seakan sedang berdoa, dan tangannya terus terkepal gelisah. Ia pasti sangat ingin ikut bermain.
               
Lalu fast forward, ketika kenaikan kelas. Ketika ia bermain dan membawa kemenangan untuk kelasnya. Ketika ia menendang, menyundul, dan mempertahankan olahraga favoritnya itu. Aku sungguh terpesona melihatnya, melihat ia begitu bebas.
                
Ada begitu banyak hal menakjubkan darinya, Kim, sampai-sampai aku takut suratku ini nanti menjadi sebuah novel. Masih kurang ceritaku? Apakah aku perlu menyebutkan bahwa setiap pagi, aku selalu menemuinya sedang berkendara menuju sekolah, karena rumah kami dekat? Atau aku perlu cerita kah mengenai betapa cemburunya aku ketika ia dijodoh-jodohkan dengan temanku sendiri?
                
Ada begitu banyak cerita, dan aku takut cerita itu akan meluap-luap dan tumpah diantara tintaku yang terbatas ini.
               
Yang paling membuatku bahagia adalah ketika aku diumumkan satu kelas dengannya, di tahun terakhirku memakai seragam abu-abu. Aku satu kelas dengannya, berarti aku dapat mengenalnya lebih baik! Sorakku. Terlebih lagi kelas itu penuh dengan anak yang baik-baik, menyenangkan sekali. Ingin rasanya aku memasukkan momen itu kedalam bola kaca, menutupnya erat-erat, lalu mengabadikannya sehingga kehadirannya selalu dapat kurasakan.
               
Lanjut, kami bertambah dekat. Lalu perjuangan yang sebenarnya dimulai. Perjuangan untuk membuka jalan masa depan kami. Perjuanganku, untuk mengumpulkan keberanian untuk mengatakan isi hatiku yang sebenarnya kepada dia. Meskipun aku tahu, sebelum kami benar-benar mantap dan menentukan pilihan hidup, kami tidak akan bisa bersama.

Kimi, kesempatan itu tak kunjung datang, meskipun aku telah mengorek-ngorek dan menanti. Memang kami bertambah dekat, namun setelah lulus, kami terpisah jauh. Aku mendapatkan beasiswa S1 ke Jepang, sementara ia masih di kota pahlawan kita, untuk masuk ke kampus teknik yang terkenal.
             
   
Kimi, aku tidak keberatan menunggu. Aku sudah menunggu selama belasan bulan untuknya, maka belasan bulan lagi tidak apa-apa untuk kulalui. Asal untuk dia, menunggu itu..... tidak membosankan.
                

Namun suatu saat, gempa berpotensi tsunami menerjang negeri Sakura yang kutempati ini, meninggalkan teror dan duka di seantero negeri. Ya, kejadiannya baru saja tiga hari yang lalu. Mungkin kau sudah mendengarnya di berita. Tidak, aku tidak apa-apa, tanpa cacat sedikit pun. Tuhan telah menyelamatkanku dari bencana ini. Syukur alhamdulillah.
                
Setelah kejadian tsunami itu, mataku membuka, Kim. Aku tersadar, aku tidak dapat terus-terusan menunggu tanpa mencoba. Mengharap tanpa mengucapkan. Bagaimana bila tiga hari yang lalu, ajalku tiba? Maka kesempatannya untuk mengetahui bagaimana perasaanku akan menghilang. Kesempatanku untuk melepas beban ini, juga akan hilang. Karena sesungguhnya cinta memang harus diungkapkan, bukan untuk secara egois disimpan sendiri dalam hati.
                



Aku tahu kamu kaget ketika membaca isi surat ini, Kimi. Tidak apa-apa. Aku tidak mengharapkan yang muluk-muluk.
               
Inilah pengakuanku. Aku menyukaimu, sungguh, semenjak pertama kamu menendang bola itu hingga melambung dan mendarat di kakiku. Aku menantimu sepanjang hari, sepanjang tahun, dan aku tidak keberatan menghabiskan masa remajaku hanya untuk menunggumu, karena aku tahu, seperti kamu pun tahu, segalanya akan lebih indah dan benar pada waktu yang tepat. Aku tidak memintamu untuk membalas perasaanku. Aku hanya ingin kamu untuk tahu.

Terima kasih, karena sudah menjadi orang pertama yang membuatku menjadi lebih baik setelah menyukaimu. Kamu tahu, apabila seseorang membantu orang lain menjadi pribadi yang lebih baik, bayangan seseorang itu akan terus bersemayam dalam hati, terukir indah dengan pigura kekaguman. Seterusnya, aku akan menjadi admirer-mu, Kim.

Semoga kamu selalu bahagia.


Yang selalu menantikan saat bertemu denganmu kembali,
Rea.