Tawa-nya


Derai tawa seseorang memecah konsentrasiku siang itu. Suara itu. Aku mengingatnya dengan jelas, seperti engkau hafal pasti aroma ibumu.

Tawa yang sama, yang melambungkan semangatku dan menggiring keluar antusiasme dalam diriku.

Tawa yang begitu alami, dengan nada-nada berfrekuensi teratur.

Tawa yang membuatku mengernyit, karena aku tahu, di balik tawa itu ada derita yang tertoreh, dalam.
            
“Selalu saja.” katanya kepadaku.
           
“Selalu apa?”
            
“Selalu saja dahimu berkerut. Selalu saja berpikir.” ia menoyor kepalaku pelan menggunakan buku yang dibawanya, lalu tertawa lagi melihat ekspresiku. “Let go. Santai saja, hidup jangan dibuat susah.”
            
Aku melongo. Bagaimana bisa seseorang tetap menjadi begitu tegar disaat masalah menimpa secara bertubi-tubi? Bagaimana bisa seseorang tertawa padahal sorot matanya berduka?
            
Sungguh, ia tertawa disaat-saat yang salah. Dan aku berharap, dia tidak tertawa sekarang, karena hal itu hanya akan membuatku menangis. Miris.