Mungkin tidak ada perasaan yang lebih membahagiakan daripada ketika kamu melihat orang yang kamu sayang dengan sopan memberi salam kepada ibumu, lalu dengan penuh hormat mengecup tangannya dengan kening.
Aku rindu. Rindu sekali. Rasanya masih teringat jelas, seakan-akan aku sekarang berdiri di sudut ruangan, menyaksikan kembali kejadian demi kejadian itu.
Dexter tersenyum, dan aku ingat pasti apa yang kurasakan saat itu. Aku selalu suka senyumnya. Dia adalah tipe orang yang ketika tersenyum, senyumnya memancar dari matanya juga, dan ketika tertawa, tawanya akan menular ke orang-orang di sekitarnya.
Saat itu, aku memikirkan tawa-tawa yang telah kulalui bersama Dexter. Tawanya sangat khas, saking khas-nya, aku jadi teringat salah satu kejadian, ketika aku sedang keluar dari ruang guru, stress dengan segala macam penundaan penandatanganan proposal kegiatan. Aku berjalan sendirian, sedih, kesal, dan perutku nyeri. Ketika melewati lapangan, aku mendengar tawa yang panjang dan keras.
Aku tersenyum sambil menoleh. Aku hafal pasti tawa itu seperti aku hafal dengan aroma ibuku. Dexter. Aku bertanya-tanya apa yang membuatnya tertawa sampai bergulung-gulung di koridor seperti itu. Tapi tidak masalah. Yang penting ia tertawa, dan aku ikut senang melihatnya, mendengar tawanya.
Tanpa kusadari, aku tidak sedih lagi, dan nyeri perutku pergi entah kemana.
"Darahnya!” Dexter yang awalnya sudah duduk di sofa kembali berdiri, namun ia mematung, ragu untuk mendekatiku.
Aku menunduk melihat selang infus yang dipenuhi darah di lengan kananku. “Oh, nggak masalah. Hehe. Aku terlalu banyak polah ya?”
Senyumnya kaku. “Jangan banyak bergerak.”
Aku membalas senyumnya. Lucu sekali kalau mengingat betapa hebatnya kekuatan pikiran manusia. Manusia tidak perlu menjadi teknisi sipil untuk membangun jalan dan jarak di antara satu sama lain. Dan itulah yang kita lakukan, ya kan, Dex? Kita membangun jarak, bahkan benteng, yang aku tidak tahu lagi bagaimana meruntuhkannya.
Aku tersenyum sendiri sambil melihat roti yang dibawakan oleh dia dan teman-temannya. Dexter menepati janji yang ia buat beberapa waktu yang lalu, ketika kami masih dekat.
"Kalau aku sakit anu, gimana ya? Apa yang bakal kamu lakuin?”
“Ya pasti bakal aku jenguk dan temani sebisaku laaah… Tapi jangan sampai.”
Ia bercakap-cakap dengan ibuku, tentang masa depan. Aku hanya senyam-senyum sambil mendengarkan, tahu kalau minat ibuku selalu naik jika menyangkut topik yang satu ini. Aku memejamkan mata, dan hal-hal yang dapat kudengar saat memejamkan mata terputar. Alunan-alunan musik yang dia buat. Dan lagi-lagi, tawanya.
He was my person. Wasn’t he?
"Langsung pulang atau bagaimana?” katanya waktu itu, di suatu sore menjelang maghrib.
Aku melihat jam tangan, lalu berpikir-pikir. “Entahlah. Ada tugas atau mungkin ulangan besok?”
“Kalau aku sih nggak ada.”
“Sama.”
Dia berpikir-pikir, lalu menjentikkan jarinya. “Ngopi?”
“Boleh.”
Akhirnya aku, dia, dan temanku Ruli berakhir dengan bercakap-cakap di kafe seberang gedung JeX, kot S. Malam yang ramai, dipenuhi kendaraan yang tidak pernah capek berlalu lalang, dan satu-dua kereta yang lewat. Cerita-cerita mulai dari yang penting sampai tidak penting, dan tawa. Tawa. Tawa. Aku tidak akan pernah bosan menyebut-nyebut tentang tawanya yang magis.
Salah satu dari banyak hal yang kusuka dari Dexter adalah kemampuannya untuk ‘membaca pikiran’. Dia sangat, sangat peka. Kalau aku terdiam, ketika tiba-tiba sifatku berubah, atau bahkan ketika hal terkecil sampai ke gaya menulis pesanku yang berubah, dia akan langsung menyadarinya. Dan seringkali tahu penyebabnya tanpa aku harus cerita. Tepat sasaran.
Aku menyesap kopiku, seteguk-dua teguk, sambil pikiranku melayang kemana-mana.
“Tadi kenapa nangis?”
Aku nyaris tersedak, syok, benar-benar seakan-akan dia bisa membaca pikiranku. Pikiranku menelaah kembali ke tadi sore. Aku menangis, ditemani Ruli, di lantai dua gedung JeX, sementara Dexter dan temannya ada di lantai satu. Bagaimana bisa dia tahu?
“Nggak kok, siapa yang…”
Dia menyela ucapanku, “Kelihatan lah. Aku tahu kamu.”
Ruli tersenyum, lalu ganti menjelaskan ke Dexter apa yang menimpaku sore tadi.
Wow.
Di kepalaku seringkali digelar sidang. Orang-orangnya ramai, tidak mau mengalah antar satu sama lain. Selalu, mereka membuatku pusing. Aku bahkan tidak yakin sumber masalah yang mereka bicarakan itu apa. Tetapi Dexter tahu. Seakan-akan diskusi rapat tersebut berbicara terlalu keras, lalu sampai di telinganya. Ia berada di frekuensi yang sama denganku. Radar yang sama. Dan, ia tahu, solusi apa yang benar, dan solusi apa pula yang ingin aku dengar.
He had given me too much. Good lessons, bad lessons. Priceless memories. And I am so, so grateful.
Suara ibuku ikut menarikku kembali. Suara ibuku yang bertanya, “Udah jam segini, nggak Jumatan?
Rasa-rasanya aku membentur sesuatu. Benteng yang tadi kami buat, seiring berjalannya waktu. Sudah saatnya aku berhenti membenturkan diriku sendiri ke benteng kami. Sudah saatnya berhenti.
Dan sudah saatnya pergi.
Just a little note for Dexter. I am now relieved. Live a good life, good man. Be someone that you and your parents wished you are. Sorry for everything, and thank you! Glad to know you, glad that we are now walking happily back-to-back. See you when our dreams are fulfilled. Hopefully.