Should I Give Up?


Another heartless conversation, another “I-didn’t-understand-what-you-were-wanted” act, again, with my most beloved person on earth, sampai-sampai tidak ada cara maupun kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya selain dengan air mata.

Aku iri pada Alif Fikri dalam Negeri 5 Menara. Alif yang orangtuanya ‘memaksa’ ia untuk menjadi santri sementara desakan hatinya hanya di jurusan Teknik di ITB. Alif yang akhirnya menjalani hari-harinya di Pondok Pesantren yang sebenarnya tidak pernah ia inginkan, hanya demi orangtuanya. Alif yang pada akhirnya menemukan keluarga dan sahabat baru dengan berkelana. Alif yang menuruti dua orang yang paling ia cintai, dan pada akhirnya ia sukses—walau tersiksa dalam proses awalnya—baik secara batiniah maupun lahiriah.

Aku ingin melakukan apa yang Alif lakukan, tapi entah kenapa ada suara-suara dari perasaanku yang mengatakan kalau aku tidak bisa. Bahwa dari setahun yang lalu, aku sudah membuat keputusan yang salah. Suara itu berujar, kalau sampai 4 tahun kedepan aku memaksakan kehendak, aku tidak bisa membayangkan lagi, betapa kacaunya aku kedepannya.

Berkali-kali argumen ini terjadi. Berkali-kali aku tidak pernah menang. Sekali aku berusaha menerapkan cara menang-menang, which means nobody lose at the debate. Aku berusaha menunjukkan kakak kelasku yang masuk ke jurusan yang tidak ia inginkan lalu menjadi ‘gila’, tidak betah, frustasi, di tahun pertamanya. Respon yang kuterima: “Lihat saja nanti kedepannya kalau dia udah sukses. Pasti dia akan berterimakasih sama orangtuanya.” Respon yang kubalas: “Baiklah.”

Ternyata tidak sampai beberapa bulan yang lalu, kakak kelasku itu sudah berbahagia. Menapak dunia dengan percaya diri lagi. Karena sudah pindah ke jurusan yang benar-benar ia perjuangkan.

Aku takut. Takut akan menjadi seperti kakak kelasku itu pada tahun-tahun yang menentukan di masa depan. Takut Tuhan akan menghukumku karena tidak berkaca pada pengalaman yang sudah Ia sodorkan.

Karena sesungguhnya, aku tidak ingin menjadi seperti Alif Fikri. Aku ingin menjadi seperti Ahmad Fuadi, penulis Negeri 5 Menara.

Apa yang aku inginkan di masa depan adalah lebih banyak buku, lebih banyak ilmu mengenai bahasa dan bagaimana bisa membuat mereka gemulai di atas secarik kertas, memainkan mereka dengan merdu, juga mengolah mereka agar sedap untuk dihidangkan. Tulisan selalu mempengaruhiku. Tulisan itu universal. Meskipun aku tidak mempunyai bakat di bidang ini, tapi minatku meluber memenuhi pikiranku, setiap hari.

Dengan tulisan, aku merasa aku menghargai diriku sendiri dan dapat membantu masyarakat. Aku suka bertualang di setiap cerita dan pengalaman, lalu mengolah rangkaian huruf yang tepat untuk membuat orang-orang mengabadikan, mengingat, menjaga kenangan mereka dengan membacanya. Aku suka membantu mendengarkan keluh kesah dan merasa tersanjung kalau kata-kata yang kupilih dapat menyapu perasaan negatif dan menarik rasa yang lebih baik.

Dengan kata-kata, aku bisa berkelana kemanapun aku mau, ke dunia dimana tak seorang pun pernah mengunjunginya, ke kota dan pulau dengan namaku sebagai pemiliknya, sementara tubuhku tetap diam dan duduk di tempat.

Tidak bisakah aku untuk merasakan bahagia di dunia yang kupilih? Dunia yang pasti tidak akan membuatku bangkrut. Dunia yang tidak akan memecatku ataupun meninggalkanku. Dunia yang tidak menganggapku sebagai butiran kerikil di tapak sepatu.

Tidak boleh ya aku menganggap serius duniaku, bukan hanya sekadar hobi? Memang, duniaku bisa dipelajari secara autodidak. Ilmu murah, kalian bilang. Tidak menguntungkan. Tapi, dualitas selalu berlaku. Ada sisi negatif dan positif di semua dunia, Yah, Bu. Dan aku tidak mau menghabiskan masa hidupku dengan menyesal di sisi negatif dari dunia lain. 

Aku sayang kalian. Semoga suatu saat kalian mengerti.